Dum Spiro, Spero

Kristal es yang mulai retak

Tinggal satu kepakan sayap kupu-kupu

Hanya satu kepakan sayap

Hancurlah semuanya

Hidup itu lucu

Menghidupkan kehidupan apalagi

Benar-benar perlu urat perut yang kuat

Ekspektasi pun hanya gurauan

Sisa-sisa harapan yang terancam

Waktu itu mengesankan

Memperbaiki yang hancur

Mengobati yang terluka

Menjadi jawaban pertanyaan tak terjawab

Namun, waktu juga layaknya shinkansen

Berlalu persis komet

Menyisakan kelebatan belas kasihan

Kadang bagai konjungsi Jupiter-Venus-Regulus

Membentuk bintang Bethlehem

Meski paling terang

Tapi diyakini muncul hanya sekali

Bagai nyawa makhluk

datang, berjaya, dan mati bagai kecepatan cahaya

Tatapan penuh arti bagai mimpi

Buah keputusasaan sejati

Harapan sia-sia

Sesia-sia ‘kemustahilan paling murni’

Inginnya untuk diri

Tapi tidak kali ini

Musim semi turut menanti

Segerah diri dalam sepi

Yakinku ia juga meratapi

Kekalutan, kegamangan, yang saling menyaingi

Namun satu yang pasti

Meski tidak saat ini

Tapi nanti kan kembali

Puzzle utuh dengan jigsaw yang terpenuhi

Tepat saat kakiku menginjak halte, hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Melihat hujan yang bagaikan air bah yang turun dari langit, mengingatkanku pada air mata yang mendesak ingin berjatuhan. Ini pula yang membawa pikiranku mengulangi kejadian saat bel pulang sekolah berbunyi beberapa saat yang lalu.

Beberapa waktu lalu -atau tepatnya bulan- dapat jadwal kuliah Praktikum Ilmu Ukur Tanah.

Dimulailah hari-hari penuh peluh dan keluh ^^

Bukannya tanpa persiapan sih.

Buktinya, si payung hitam nan besar itu disediakan memang.

Namun, untuk nutupin si Theodolite dari tarik matahari dan guyuran hujan.

Bukannya untuk dipake manusia-manusia malang ini, hehe

Tapi, alhamdulilllahnya, punya kesempatan buat ngelakuin hobi iseng.

Ngejepret apa yang ada !

Ini dia beberapa hasil jepretan saat itu, yang ternyata keren juga.
(muji diri sendiri boleh  donk, sebelum dipuji orang, hehe)

Silahkan dinikmati !